Kamis, 25 April 2019

Catatan Lama

Penghuni Langit

(diposting pertama kali pada 8 Okt 2013)

Sepenuhnya, air di wajah sudah meleleh. Kering dalam sujud di atas sajadah panjang masjid kampus. Terasa sedikit lembab karena bekasnya. Juga terasa dingin seperti penyegar muka. Coba saja, wudlu lah. Aku jamin itu yang akan benar-benar terasa. Aku pun
berjalan menengadah. Sedikit melamun, sedikit berkhayal. Andai saja hari ini berjalan seperti biasa. Tidak ada rasa khawatir, tidak pula ada rasa sedih. Tapi tetap saja itu hanya khayalan. Sesungguhnya aku merasa sebaliknya. Campuran senyawa dari rasa sedih, khawatir, bingung, dan sejenisnya.
Campuran rasa yang sempurna untuk membuat aku gontai. Langkah tak lagi seimbang seperti halnya hati yang juga tak lagi seimbang. Ada kontradiksi antara logika dan perasaan. Jadi ingan seorang teman yang suka memperdebatkan cinta di antara persepsi logika dan perasaan. Si brewok yang suka mengobrak-abrik pemikiran normal menjadi nyeleneh. Sahabat yang selalu punya cara memberikan bahan pertimbangan kala aku bimbang.
Tiba-tiba langkahku tersendat. Kali ini penyebabnya bukan sebongkah batu, selembar uang seratus ribu, atau seorang gadis cantik menawan. Tapi hanya oleh sepasang mahkluk. Tentu saja karena dua hal ini ciptaan Tuhan, maka aku menyebutnya makhluk. Tepat di atas sana, sedikit condong ke barat. Lihat lah! Pasti ada, aku sudah melihatnya. Cepat keluar dari peraduan dan nikmatilah. “indahnya…”gumamku dalam hati.
Dua penghuni langit malam ini. Keduanya saling beradu mesra di atas sana. Mungkin makhluk yang lain akan merasa iri oleh mereka, termasuk aku. Kemesraan yang patut untuk disombongkan pada manusia. Lihat saja betapa akurnya bintang dan bulan sabit itu. Bersanding, bertengger, beriring angin dingin.
Bulan sabit muda berwarna kuning cerah. Melengkung dari kiri ke kanan. Elok rupanya seperti eloknya rasa syukur terhadap kehidupan. Di sampingnya, bintang menemani dengan setia. Tidak banyak berubah, hanya berkedip-kedip saja. Ciri khas yang akan selalu diingat dan dinyanyikan. Bintang kecil, bintang yang mengerling.
Aku merasa iri melihat keduanya. Aku ingin seperti mereka. Aku yang sedang berperang di dalam sini. Di sini ada perseteruan yang meretakkan semua proyeksi pencitraan masa depan. Hancur, pecah tepat dibagian paling penting. Broken heart. Benar-benar keadaan yang sangat menyiksa. Hanya saja aku berpura-pura terlihat baik-baik saja.
Ini semua karena perbedaan pemahaman agama. Isu yang seharusnya sudah bisa aku netralisir. Hal-hal yang menyangkut hak privasi yang satu ini benar-benar rapuh. Objek yang rentan menimbulkan perselisihan. Bahkan oleh orang seperti aku yang sudah setahun hidup di antara perbedaan suku, ras, agama, dan adat sewaktu bertugas dulu. Tapi kali ini aku gagal menyelesaikan misi ini. Sebuah misi menyamakan persepsi agar bisa masuk ke tahap selanjutnya. Meskipun baru tahap permulaan, aku berharap semua berjalan lancer. Tapi sudah terjadi, perpecahan oleh perbedaan persepsi.
Harusnya malam ini datang lebih awal. Bukan bermaksud untuk protes. Tapi aku ingi n menunjukkan ke diriku sendiri bahwa di atas sana ada dua penghuni langit yang jelas-jelas berbeda. Keduanya berbeda bentuk, warna, cahaya, semuanya. Dan ketika keduanya bersanding, indah bukan.
Harusnya aku lebih cepat belajar sebelum malam ini tiba. Dasar aku ini manusia, tempat salah dan lupa. Semestinya aku bicara pada alam. Belajar memahami mereka. Menyerap ilmunya, lalu menginjeksi ilmu itu ke dalam analogi kehidupanku. Ini lah ilmu dari sepasang penghuni langit. Ilmu tantang kesetiaan, keseimbangan, dan saling pengertian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sudah Bertamu Sebanyak